Menimba Kearifan Di
Keseharian
Judul buku :
Menimba Kearifan Di Keseharian
Penulis : YM. Bhikku
Saccadhammo
Cover
Design : Sarana Aksara
Grafika
Diterbitkan
oleh : Vihara Metta
Jl. Palmerah Utara IV/26 C
Jakarta Barat 11480
Telp/Fax. 021-532 3058
Dicetak
oleh : Sarana Aksara
Grafika
( Isi diluar tanggung jawab percetakan)
Cetakan : 1, 2006
Tebal : 140 halaman
Harga : Rp. 10.000,-
Buku ini ditulis oleh seorang
bhikkhu yang bergabung dalam Sangha Theravada Indonesia. Lahir di Lombok (NTB),
12 Desember 1980, di sebuah dusun sederhana, jug dalam sebuah keluarga
sederhana. Latar belakang yang serba sederhana itulah yang kemudian
membimbingnya untuk belajar memaknai segala sesuatu dengan pengertian Dhamma
yang sederhana pula. Ia kadang berguyon, meski dengan latar belakang keluarga
sederhana, lingkungan sederhana, tetapi ia berpendidikan S3. Tenyata maksudnya:
SD, SMP, dan SMU!. Ia menerima pentahbisan samanera (murid bhikkhu) pada
tanggal 2 Desember 2001 di padepokan Dhammadipa Arama, Batu malang (jawa
timur), dengan Upajjhaya Y.M. Sukhemo Mahathera dan Acariya Y.M. Jotidhammo
Thera. Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Maret 2004, ia menerima
pentahbisan bhikkhu penuh (Upasampada) di Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta,
dengan Upajjhaya Y.M. Sukhemo Mahathera dan Acariya Y.M. Subhapanno Thera. Ia
mendapatkan nama pentahbisan Bhikku Saccadhammo.
Hidup di desa mengharuskan orang mengambil air untuk
kepentingan sehari-hari. Air itu bisa diambil dimana saja atau milik tetangga,
di perigi-perigi, atau di danau. Pengambil air membawa buyung dari tanah atau
bahkan batang bamboo yang cukup besar. Tidak lupa juga : timba! Kadangkala
tidak tiap orang membawa timba meski mereka harus mempunyai tempat untuk
membawa air. Satu timba dipakai bersama. Di daerah-daerah pantai, tidak jarang
timba itu terbuat dari daun lontar. Sederhana memang, tetapi cukup kuat untuk
mengangkut air dari kedalaman sumur ke atas tanah.
Di desa, air seolah ada dimana-mana. Kita bisa
mengambilnya setiap saat. Namun begitu, harus ada timba untuk mengambilnya.
Tidaklah mungkin mengambil air untuk mengisi gentong dapur hanya dengan
menggunakan tangan.
Seperti air, demikian juga nilai-nilai kebajikan,
kasih saying, kejujuran, keuletan, setia kawan, tanggung jawab, kebenaran dan
masih banyak lagi. Kami menamakan itu dengan satu kata: Dhamma. Kita bisa
menjumpainnya secara nyata di keseharian ini. Namun untuk menimbanya bukan hanya dengan tangan kosong.
Pengertian Dhamma yang dipunyai Bhikkhu Saccadhammo persis seperti timba yang
mampu mengambil air dari berbagai peristiwa. Air kearifan itu kemudian
dipersembahkan untuk para pembaca dalam buku ini.
Banyak juga yang mempunyai timba tetapi tidak menggunakannya
dengan penuh. Mungkin hanya disimpan saja. Sedangkan timba yang hanya dibuat
dari daun lontar bisa dipakai bersama dan airnya untuk bersama pula.
Banyak pengertian agama yang dipunyai seseorang,
tetapi nampaknya berhenti pada keyakinan semata bahwa pengertian agama yang
dipunyai itu: sangat benar! Saat ia berhadapan dengan peristiwa yang nyata di
keseharian, pengertian agamanya itu seperti terkunci dalam peti besi. Ia tidak
bisa mengambil hikmah dari peristiwa yang ia alami atau ia saksikan, juga tidak
mampu berbuat bijak untuk menghadapinya.
Membaca buku ini seolah kita sedang diberi contoh
untuk menggunakan kearifan kita yang walaupun sesederhana daun lontar untuk
mendapatkan kearifan yang lebih luas dari keseharian kita. Kearifan yang sungguh
mampu meneduhkan hati.
Kata para bijak, orang-orang atau kondisi apapun
yang kita temui dalam hidup, entah menyenangkan atau menyakitkan, akan membantu
kita menemukan “mutiara” hidup ini. Ketika sehat, dengan gembira kita
menggunakan kesehatan demi manfaat banyak orang. Tatkala sakit, kita tidak
berputus asa karena ada kesadaran bahwa hidup ini tidak pasti, dan itulah
realita kehidupan. Sehat membawa berkah, sakit memberi hikmah.
Lebih
luas lagi, kita juga akan berhadapan dengan berbagai kondisi kehidupan :
untung, rugi, dipuji, dicela, nama baik, nama buruk, suka, dan duka.
Masing-masing kondisi tersebut tentu tidak sama. Tetapi dari berbagai kondisi
yang tidak sama itu, kita dapat menemukan satu “mutiara” yang sangat berharga.
Mutiara ini adalah Kearifan! Sederhananya, kita dapat menimba kearifan dari
pengalaman apapun yang kita temukan di keseharian.
Bila
yang baik akan berguna, yang buruk pun memberi arti. Bukankah pengalaman buruk
sudah cukup memberi peringatan agar kita tidak mengulanginya?
Kearifan kemudian mendorong kita untuk mengendalikan
pikiran, ucapan dan perbuatan. Pada saat yang sama, kita terus menumbuhkan
kebajikan, keuletan, setia kawan, tanggung jawab, kejujuran, kasih sayang,
kesabaran, ketulusan, dan masih banyak lagi.
Buku ini mencoba untuk menyampaikan apa yang terjadi
sehari-hari, baik yang dialami penulis, orang-orang dekat, kerabat jauh, atau
apa yang terjadi di lingkungan sekitar bahkan keadaan dunia kita dewasa ini.
Anggaplah sebuah keranjang pemulung, memang dikumpulkan dari sana sini, comot
sana-comot sini, petik sana-petik sini, lalu sedikit diolah dan dibumbui
lelucon.
Hanya, yang hendak disampaikan disini adalah bahwa
kebenaran dan kearifan tidak berada di tempat yang jauh, yang tidak terjangkau
oleh orang biasa. Kebenaran dan kearifan sesungguhnya dapat dilihat oleh
siapapun yang mau melihatnya dan mau menimbanya. Buddha Gotama pernah
mengatakan, pada tubuh kita yang tidak lebih dari 2 meter ini, kita dapat
menemukan kebenaran. Untuk melihatnya, kita hanya perlu membuka kepekaan.
Kepekaan itu adalah pengertian Dhamma (timba dalam istilah Bhante Panna).
Buku ini berisi berbagai macam cerita yang terjadi
di keseharian. Sehingga membuat kita dapat menimba kearifan melalui beberapa
perantara, misalnya di dalam diri, di kehidupan masyarakat, dan di lingkungan
kita dan dunia dewasa ini. Pada perantara di dalam diri terdapat 15 cerita,
yaitu : radio butut, sedikit bicara, burung beo, bercermin, gonggongan anjing,
kera yang bergelantungan, gunung kesombongan, penyakit aneh, rendah hati palsu,
pelajaran dari lebah, bersahabat dengan lebah, bunga violet, api unggun, anak
dusun di pantai, dan menjadi lebih kecil. Pada perantara di kehidupan
masyarakat terdapat 19 cerita, yaitu : belajar mendengar, sepasang sayap
burung, adil dan peduli, pura-pura, kritik dan hujatan, mulutku adalah
harimauku, lebih senang mimpi, mukjizat sesungguhnya, ramalan, jimat, mabuk,
berdandan, siklus anjing dan kucing, bangkit dari keterpurukan, menumbuhkan
motivasi, bekerja demi kebajikan, berhasil sejahtera dan berhasil bahagia,
praktisi sejati, agama, kearifan hutan tentang kebersamaan. Pada perantara di
lingkungan kita dan dunia dewasa ini terdapat 13 cerita, yaitu: bencana alam,
rapuhna penghargaan terhadap lingkungan, lupa diri, agama pasar, kearifan
lokal, agama Buddha dan lingkungan, awas! Penyakit global manusia modern,
menyikapi teknologi, salah besar! Senjata sebagai alat pendamai, moralitas anti
perang, lemahnya kekerasan, kekuatan kelembutan, berharganya ketenangan.
Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa kearifan dapat
ditimba di kehidupan sehari-hari. Kelebihan buku ini adalah cerita yang
diceritakan benar-benar terjadi di kehidupan nyata, cerita yang disajikan
dibumbui dengan berbagai lelucon sehingga menjadikan cerita lebih humoris dan tidak
membosankan. Dibalik kelebihan buku ini, ada juga kelemahannya, yaitu tidak ada
gambar pada cerita sehingga kurang menarik dan kata-kata yang digunakan masih
ada yang susah dipahami. Jadi dengan buku ini, kita dapat menambah atau
memunculkan kearifan yang ada didalam diri kita. Jadi jika ingin mengetahui cerita
yang ada di dalam buku ini dengan lengkap, maka belilah buku ini di toko buku,
hanya Rp. 10.000.
Nama peresensi : Chintya Tandri
Komentar
Posting Komentar